tag:blogger.com,1999:blog-20078271036933174052024-02-19T13:21:44.784+07:00Hidup Adalah Perjalanangoe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-45632621879544286692013-02-26T00:40:00.000+07:002013-02-26T00:40:22.917+07:00Ziarah Sosial di Pedalaman Baduy<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<em>Oleh : Suria Saputra.</em><br />
<em>Keterangan :</em><br />
<ul>
<li><em>Ini merupakan cuplikan dari buku yang berjudul <strong>BADUY</strong> tahun <strong>1959 oleh Suria Saputra</strong>,
yang merupakan hasil perjalanannya ke Suku Kuno Baduy (Kanekes). Buku
ini terdapat dalam Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisna Amidjaja (yang
telah disalin kembali dalam bentuk EYD oleh para pengurusnya di tahun
1995).</em></li>
<li><em><strong>Foto-foto</strong> di sini adalah hasil foto sesepuh Sunda, yaitu <strong>Ali Sastramidjaja</strong>. Dalam perjalanan lahir batinnya di tempat yang sama, Kanekes (Baduy) di tahun <strong>1979</strong>.</em></li>
</ul>
<div style="text-align: center;">
* * * * * * * * * * * * * * * * * * *</div>
<div style="text-align: center;">
* * * * * * * * * * * * *</div>
<div style="text-align: center;">
<strong>BADUY</strong></div>
<div style="text-align: center;">
<a href="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/baduy-luar2.jpg"><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-2676" src="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/baduy-luar2.jpg?w=570" title="baduy luar" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Baduy Luar</em></div>
Pada 5 hari bulan April 1950, cita‑cita saya untuk pergi ke Baduy baru dapat dilaksanakan.<br />
Sebelum berangkat, kami cari dulu keterangan tentang tempat dan orang
yang akan kami kunjungi dengan memajukan pertanyaan‑ pertanyaan kepada
orang‑orang yang pernah pergi berziarah ke Baduy. Mereka kebanyakan
adalah petani‑petani dan pedagang‑pedagang yang ingin maju dalam
masing‑masing perusahaannya. Dan ada pula yang datang di Baduy untuk
minta obat bagi keluarganya yang sakit, karena obat dokter tak dapat
menolongnya. Maksud kedatangan mereka itu sepanjang katanya, ada yang
berhasil, ada yang tidak.<br />
Mereka yang datang ke sana dengan sesuatu maksud untuk memperbaiki
nasibnya, sepanjang katanya tidak boleh bermalam disana, setelah
mendapat jawaban yang diinginkannya, waktu itu juga ia harus berangkat
pulang, tidak boleh menoleh ke belakang.<br />
Setelah keterangan‑keterangan dikira cukup untuk bekal pertemuan
pertama kami peroleh, barulah kami berangkat, ialah: Saya sendiri, Pak
Atmawidjaja ‑ Kepala Sekolah Rakyat di kota Bogor, dan seorang wanita
Ibu Arum Suwita<a href="http://artshangkala.wordpress.com/2010/02/23/baduy-sebuah-perjalanan-batin-ke-suku-kuno-tahun-1959/#_ftn1"></a>.
Ibu Arum ini adalah seorang wanita yang kuat berjalan kaki dan banyak
pengalamannya, jauh perjalanannya. Demak, Madura, Tengger, Kalimantan,
Ngampel dan tempat-tempat yang beriwayat lainnya telah dikunjunginya.
Dan telah berkali-kali pula Ibu Arum ini pergi ke Baduy.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<a name='more'></a><br />
Jam 06.00 pagi pada waktu yang tersebut di atas tadi, kami dari kota
Bogor menuju ke barat, berkendaraan bus, melalui Jasinga, Cipanas dan
berhenti di Haurgajrug jam 09.30 pagi hari. Dari sini berjalan kaki
menuju ke kampung Karang untuk singgah dan bermalam di sana.<br />
Tiba di Karang jam 06.30 petang hari. Waktu itu di Karang sedang
diadakan perayaan khitanan yang cara-caranya berbeda dengan di tempat
lain, hampir sama dengan cara khitanan di Baduy.<br />
Kampung Karang adalah sebuah kampung yang penghuninya hampir seperti
Baduy. Kepala kelompoknya pun disebut Puun. Ketika itu, kami tak sempat
berkenalan dengan Puunnya, karena esok harinya pagi-pagi harus berangkat
lagi. Baru dapat berkenalan dengan orang-orang tua di sana setelah
pulang dari Baduy.<br />
Di Karang, rombongan kami bertambah dengan dua orang suami-istri.
Laki-lakinya bernama Sopian, orang Jakarta dan istrinya orang
Karangcombong. Sedang perjalanan kami hari itu akan menuju
Karangcombong, untuk singgah dan bermalam di sana.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Perjalanan Haurgajrug – Karang dan Karang – Karangcombong melelahkan
dan meletihkan, karena turun naik gunung, tapi tak seperti yang saya
cita-citakan. Cita-cita saya sebelum berangkat, untuk pergi ke Baduy
itu, tentu melalui jalan yang berhutan lebat, sebagaimana hutan-hutan
yang pernah kami masuki dalam tiap-tiap tahun atau setahun dua kali,
manakala ada kesempatan.<br />
Di dalam hutan lebat yang pernah kami masuki itu, saya menginginkan
udara yang sejuk, pendengaran yang sunyi, pemandangan yang menghijau
disertai air bening yang mengalir.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Rombongan kami tiba di kampung Karangcombong jam 05.30 petang hari.
Jadi antara Karang dan Karangcombong kami jalani hampir satu hari penuh,
karena berangkat dari Karang jam 07.00 pagi-pagi.<br />
Penduduk Karangcombong ini menurut tilikan kami pada waktu itu,
adalah orang baik-baik. Agama Islam tampak ditaati dengan bukti adanya
mesjid dan madrasah. Dalam prakteknya agama Islam itu berasosiasi dengan
agama lama, ternyata dari mantera-manteranya.<br />
Sungguh tak kami sangka bahwa dua tahun kemudian penduduk kampung
inilah yang mengganas merusak hutan-hutan larangan Baduy, yang
keadaannya bersifat “Hutan Pelindung Mutlak”. Rusaknya hutan ini berarti
rusaknya tempat-tempat yang ada di aliran sungai sebelah bawah, yang
hulunya di hutan larangan itu. Kemudian hari ternyata, bahwa keganasan
orang Karangcombong terhadap hutan larangan / Hutan Pelindung Mutlak itu
disebabkan setelah di kampungnya ada seorang haji berasal dari
Leuwidamar. Haji inilah yang menjadi kepala dan penganjur rakyat di sana
agar supaya berladang di hutan larangan. Malam harinya, di kampung ini
kami tak dapat melepaskan lelah, karena dikerumuni oleh orang-orang tua
di tempat itu. Mereka bertanyakan bermacam-macam soal yang berhubungan
dengan peristiwa-peristiwa di kota dan di negara.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Pada hemat kami, bagi seseorang pegawai Jawatan Penerangan, saat dan
keadaan sedemikian itulah yang merupakan peristiwa yang sebaik-baiknya
untuk meresapkan keinginan-keinginan pemerintah kepada rakyat. Di tempat
dan waktu yang seperti itu, bukannya kita yang ingin berpidato,
melainkan mereka yang ingin mendapat nasihat.<br />
Kedatangan kami di kampung ini mendapat sambutan dan jamuan yang istimewa, meskipun mereka tidak diberi tahu lebih dahulu.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Keesokan harinya, ialah pada 6 hari bulan Januari 1959, jam 7
pagi-pagi, kami berangkat menuju daerah Baduy Dalam Cikeusik (Tangtu
Padaageung). Rombongan kami berkurang dengan seorang, ialah wanita istri
Sopian, tapi bertambah dengan 2 orang laki-laki ialah penghuni rumah
tempat kami bermalam dan seorang iparnya; jadi berjumlah 6 orang, 5
orang laki-laki dan seorang wanita.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Perjalanan yang turun naik di lereng gunung, hingga adakalanya lutut
mengenai dagu, sangatlah melelahkan dan meletihkan. Nafas turun naik
dengan cepatnya bagaikan orang berlari cepat. Pakaian basah kuyup dengan
keringat bagaikan habis ditimpa hujan. Walaupun demikian lelah dan
letih itu, bagi saya dapat dilipur oleh keadaan dan suasana hutan yang
saya cita-citakan. Hutan ini bernama <em>Leuweung Kolot</em> (Rimba
Tua); kayu-kayunya besar-besar, bermacam-macam, berdahan rindang berdaun
rimbun, hingga adakalanya sinar matahari tak sampai di bumi karena
terempang oleh daun-daunan yang rimbun itu.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Kami pernah masuk hutan Cimari yang letaknya kira-kira 26 km ke
sebelah dalam dari Cikotok, Banten Selatan (tempat tambang emas). Hutan
ini terkenal hutan gelap, karena cahaya matahari terempang oleh
daun-daunan hingga tak menerangi bumi. Tapi keindahannya kalau dibanding
dengan Leuweung Kolot Baduy, masih kurang. Pengantar sukarela kami dari
Karangcombong itu, seorang diantaranya membawa bedil penembak babi.
Katanya untuk menjaga keselamatan dan keamanan kami kalau-kalau di jalan
bertemu dengan binatang buas atau dengan orang-orang pengganggu
perjalanan.<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/bermusik.jpg"><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-2673" src="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/bermusik.jpg?w=570" title="musik di Kanekes" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<em>bermusik di ‘dalam’</em></div>
Kira-kira jam 13.00 tengah hari, kami tiba di perhumaan Cikeusik.
Orang Baduy Dalam yang mula-mula kami jumpai itu adalah Puun Manten.
Kata “manten” ini bahasa Sunda Halus dari kata “pensiun”. Tapi di Baduy
tak ada pensiunan, artinya Puun yang tak menjadi <em>Karolot</em> lagi atau Puun yang sudah berhenti. Beliau bernama Arsadja dan terkenal dengan sebutan Puun Kais.<br />
Tempat dimana kami berjumpa, ialah sebuah bangunan yang kami sebut
“dangau-dangau”. Untuk disebut gubug, terlalu besar dan lengkap.
Dangau-dangau ini hampir sebesar rumah mereka. Pada waktu berhuma,
kebanyakan orang Tangtu diam dan bermalam di dangau-dangau ini.<br />
Kami dapati Puun Manten sedang memintal tali untuk menjalin <em>lanjak</em>
(jaring perburuan). Mula-mula orang ini kelihatan acuh tak acuh kepada
kedatangan kami, karena sedang asyik bekerja. Kemudian setelah ia
mengemasi pekerjaannya, kami didekatinya dan berkatalah ia: <em>“Teu harti aing, naeun karah rea jelema datang ka dieu”</em>.<br />
Susunan kalimat ini sudah berlainan dengan bahasa Sunda biasa. Awalan dan ahiran tak terlalu dihiraukan. Arti kalimat itu: <em>“Aku tak mengerti mengapa banyak orang datang kemari”</em>.<br />
Setelah kami berkenalan dengan tak berjabatan tangan, Puun Manten
berusaha berbicara dengan bahasa Sunda Halus. Akan tetapi saya minta
kepadanya, agar percakapan dilakukan dengan bahasa Sunda mereka. Hal-hal
yang tak dapat saya pahamkan, saya minta penjelasan kepadanya.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Tanya jawab dengan Puun Manten saya tuliskan di bawah. Akan tetapi
barang siapa yang belum pernah berkata-kata dengan orang Cikeusik,
terutama dengan Puun Kais ini, mungkin menyangka bahwa percakapan kami
ini hanyalah karangan belaka. Untung bagi saya karena Pak Atmawidjaja
dan Ibu Arum menyaksikan pembicaraan kami ini.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Orang yang kami hadapi ini, waktu itu berumur 60 tahun, tetapi masih
amat tangkas dan cekatan. Berbadan tegap, senantiasa tegak. Berkulit
kuning agak kemerah-merahan karena cahaya matahari. Matanya bersih,
pandangannya tajam seolah-olah hendak menembus jantung lawannya
berbicara. Rambutnya masih hitam dan panjang, bersanggul, berikat kepala
kain putih mentah. Bajunya kebaya putih, bertangan panjang yang sempit
pergelangannya. Kain sarungnya pun putih pula, hingga di bawah lutut di
atas pertengahan betis, tidak bercelana. Pakaian serba putih itu
kelihatannya kotor, sesungguhnya adalah kain putih mentah yang dicelup
dengan warna kekuning-kuningan. Beliau berbicara fasih. Kalimat
purwakantinya diucapkan dengan sangat lancar, dengan tekanan suara pada
suku kata kedua dari belakang.<br />
Dengan kalimatnya yang tegas dan jelas, acapkali dipatahkannya perkataan lawan bicaranya, hingga sukar dielakkan.<br />
Pada hemat saya tampan orang ini tidak pernah gentar walau berhadapan
dengan siapa jua pun. Dugaan saya tentang sifat orang ini yang didapat
dari kesimpulan jawaban orang-orang yang telah pernah pergi ke Baduy (di
atas telah dikemukakan), adalah orang yang tak menyukai manusia yang
berjiwa peminta-minta. Disangkanya semua orang sebagai dirinya, ialah
dapat menyelesaikan sendiri segala keperluan hidupnya.<br />
Oleh karena itu, saya amat berhati-hati menjawab pertanyaannya,
seolah-olah sedang berhadapan dengan seorang penguji. Pada hemat saya,
andai kata waktu itu lidah saya terpeleset, niscaya kami tak diizinkan
bermalam di rumahnya. Istimewa pula kalau kami minta apa-apa sebagaimana
keterangan yang kami peroleh, tentunya disuruh pulang pada waktu itu
juga. Sedang kami perlu mengetahui keadaan rumah bersama alat-alatnya
yang ada di daerah Baduy Dalam itu. Bahkan pada persangkaan saya waktu
itu, niscaya Puun Kais itu karena bekas pemimpin, berumah bagus, dengan
alat rumah tangganya yang mewah.<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/minum-dg-batok-kelapa.jpg"><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-2678" src="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/minum-dg-batok-kelapa.jpg?w=570" title="minum dg batok kelapa" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Batok Kelapa sebagai wadah minum air</em></div>
Kini kami lanjutkan percakapan kami dengan Puun Kais, dalam pertemuan pertama itu.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553"><em>“Saha ieu karah?, Ti mana nya lembur matuh dayeuh maneuh banjar</em><em> </em><em>karang pamidangan?”</em> (Siapakah ini?, dimana kampung halamanmu?).</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Dari Bogor, Girang”.<em> </em></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Apakah maksud kalian?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Kami dari Bogor berhasrat untuk bertemu dan berkenalan dengan orang-orang di sini”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553"><em>“Geusan naeun karah?”</em> (untuk apa? atau apakah gunanya?)</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Pertanyaan ini adalah diluar dugaan kami, hingga saya tertegun dan meraba-raba jawaban yang akan dikemukakan.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 568px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Begini Girang, bila anak cucuku kelak
datang atau tersesat kemari, kalau kami sudah kenal, mudah-mudahan
diterima oleh orang sini”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Kalau hanya itu kehendak kalian, sungguh tidak masuk pada akalku (<em>teu harti aing</em>).
Kalian datang dari jauh, biayanya pun tidak sedikit. Sungguh tak
masuk pada akalku bila hanya untuk menitipkan anak cucumu yang kini
tak dibawa. dan ketahuilah, barang siapa yang datang kemari, walau tak
dititipkan sekalipun, harus kami sambut dengan cara dan kekuatan
kami. Tamu yang lapar kami beri makan, tamu yang mengantuk kami
persilahkan tidur. Kami orang Sunda telah mendapat pesan dari nenek
moyang kami, katanya: “kelak bila anak cucuku datang kemari, hendaklah
dipenuhi barang kehendak dan kekurangannya”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Saya terdesak, tak dapat mengelakkan kalimat-kalimat Puun Kais yang
berlogika, mendesak dan bersifat mematahkan itu. Oleh karena itu, saya
berbicara lebih berhati-hati lagi, karena ternyata orang yang saya
hadapi ini tak dapat dibawa lemah. Agaknya orang-orang yang lemah di
dalam hatinya, ditertawakan.<br />
Puun Kais tersenyum melihat saya kemalu-maluan itu.<br />
Selanjutnya bertanya pula.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Apakah maksud kalian yang sesungguhnya, ingin kayakah?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Bukan. Orang kaya pada masa ini risau hatinya, karena banyak harta benda yang dirampok dan dibakar”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Ingin kebal kulit, barangkali?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Tidak. Orang berkulit kebal, biasa dicoba
orang. Sekali diparang ia kebal, dua kali tidak luka, tetapi
selanjutnya ia akan rebah jua”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Ingin menjadi pemimpin agar dihormat, dipuja orang?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Bukan. Pemimpin yang tak berdarah pemimpin
hanya bersifat sementara. Pemimpin yang diangkat oleh orang banyak,
akan dijatuhkan oleh orang banyak pula”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Apakah engkau hendak membuat sawah di sini, sebagaimana orang <strong>Are</strong> (luar Baduy) yang ada di sekitar kami. Ataukah hendak membuat bendungan air, sebagai keinginan Belanda di masa lampau?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Sekali-kali tidak. Sawah yang terlalu jauh dari tempatku tak berguna bagiku. Dan aku bukannya pegawai pengairan.”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Kalau demikian, engkau penyelidik malah”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Bila aku bermaksud berkhianat kepada
orang-orang di sini, Girang melihat sendiri. Leherku tak dipalut
dengan baja. Sedang golok orang Baduy panjang-panjang dan tajam-tajam.
Sekali parang, leherku putus”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Kami orang Sunda, tak diizinkan mencucurkan darah manusia”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Puun Kais diam sejenak, agaknya sedang berpikir. Sambil tersenyum, berkatalah pula:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553"><em>“Heu-euh</em> (bunyi heu, ditekan dalam-dalam);
<em>Nu bisa ngapung, tunggu turunna.</em><br />
<em>Nu liat kulit, tunggu uduhnya. </em><br />
<em>Nu bisa teuleum, tunggu nyenghapna.</em><br />
<em>Nu ambek, tunggu leuleusna.</em><br />
<em>Aran jelema tetap jelema; daging hipu tulang rangu, ngancik
dina kulit bumi. Cara kami, weduk hanteu manggih urut, bedas hanteu ku
karana</em>.<br />
(Ya…<br />
Si pandai terbang, tunggu turunnya,<br />
Si kebal kulit, tunggu empuknya.<br />
Si pandai selam, tunggu timbulnya.<br />
Si pemarah, tunggu lemahnya.<br />
Orang adalah orang, berdaging empuk bertulang rapuh; tempatnya di
kulit bumi. Cara kami, kebal kulit tak berbekas, kuat tak karena
sebab).<br />
Dan kini, niscaya kalian merasa lelah. Istirahatlah dahulu. Kalau
hendak tidur, tidurlah. Kami di luar. Biasa tidur siang hari, kami
tidak. Sementara itu, aku akan menyelesaikan dulu pekerjaanku. Nanti
kita teruskan pembicaraan (<em>cacahan</em>) kita”</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Pada waktu itu kami tinggal berempat. Orang Karang Jombong dua-duanya
disuruh pulang oleh Puun Kais. Sedang Sopian, orang yang ikut dari
Karang itu, masih terus bersama-sama kami. Ia agaknya berlawanan dengan
maksud kami, karena sementara berbaring berkata bahwa tanah Baduy
sungguh baik untuk dijadikan sawah. Ia tak tahu bahwa tanah pegunungan
yang bentuknya demikian dan menjadi hulu beratus-ratus anak sungai,
kalau dijadikan sawah, akan berakibat erosi besar-besaran. Disangkanya,
bahwa kedatangan kami kesana itu akan dapat menolong untuk menyampaikan
cita-citanya. Maka adalah selayaknya Puun Kais menyindir-nyindir kami
akan membuat sawah. Agaknya Puun Kais telah mendapat firasat yang tidak
baik, karena ternyata Sopian ini kelak kemudian hari ikut menjadi
perusak hutan. Sopian waktu itu memakai rantai arloji emas dengan mainan
(gantungan) batu merah sebesar ibu jari kaki, yang diikat dengan emas
pula.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Kira-kira jam 17.00 petang hari, Puun Kais datang pula kepada kami,
disertai beberapa orang Baduy Dalam lainnya. Puun Kais memperhatikan
batu merah perhiasan Sopian itu seraya katanya:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 569px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="464"><em>“Aing nyeueung”</em>. (Coba kulihat).</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Maka batu bersama arlojinya diberikan Sopian kepada Puun Kais.
Setelah batu merahnya itu diamat-amatinya, dikembalikan lagi kepada
Sopian, seraya berkata :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Indah benar batu itu. Niscaya pada
pendapatmu batu ini keramat. Orang-orang ditempatmu biasa minta
keramat kepada batu-batu, kayu atau besi. Bahkan kabarnya ada pula
yang minta keramat kepada kuburan. Sungguh bagi kami di sini, cara
demikian tak diperkenankan. Kami hanya meminta kepada Yang Satu”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Saya mengambil rokok dan berkata :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="525">“Bolehkah aku merokok?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="525">“Di sini boleh, karena aku tak menjadi Puun
lagi. Tapi bila berhadapan dengan Puun Karolot, sekali-kali tak boleh
minum rokok”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="525">“Mengapa orang Baduy Dalam tak minum rokok?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="525">“Kami <em>buyut</em> (tabu). Tanah disini
tak baik untuk tembakau. Jika kami biasa merokok, harus mencari di
tempat lain. Sedang perjalanan kami berlainan dengan kamu. Kamu boleh
berkendaraan, kami tidak. Bila bepergian, semua tanah yang dilalui
haruslah diinjak dan dilangkahi (maksudnya berjalan kaki). Kami tak
hendak jadi bujang tembakau”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Puun Kais memperhatikan pemantik api bensin yang saya pergunakan.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="525">“Bagus benar. Adakah buatanmu sendiri?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="525">“Buatan pabrik, Girang”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="525">“Adakah pabrik itu di tempatmu?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="525">“Di luar negeri. Kalau Girang ingin, ambillah”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="525">“Aku, tak perlu. Kalau rusak, aku tak dapat membetulkannya”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Kalimat ini saya terima sebagai sindiran, karena orang-orang yang
biasa berziarah kepadanya, tentu membawa pemantik api bensin yang tak
asing lagi bagi Puun Kais.<br />
Tengah kami bercakap-cakap, tiba-tiba berdiri seorang Baduy Dalam
lain di samping Puun Kais, tak ketahuan darimana datangnya, karena
sangat gesitnya bertindak. Ia berkata kepada Puun Kais, bahwa di hutan
yang dekat dari sana, ada seekor kancil. Puun Kais menoleh, dan berkata:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="55">+</td>
<td valign="top" width="528">“Hari sudah mulai gelap. Kancil itu kita kejar esok hari saja. Jika esok hari tidak ada, biarkan ia hidup”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Mendengar peristiwa itu, Sopian kawan kami itu berkata:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 571px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49"><br /></td>
<td valign="top" width="534">“Sayang, mengapa tidak dikejar. Kalau kancil itu tertangkap, saya berani menukarinya dengan ikan peda 50 ekor”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Puun Kais berkata.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Tidak mungkin (<em>hanteu</em>)”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="534">“Seratus ekor”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534"><em>“Hanteu”</em>.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="534">“Dua ratus ekor”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Seribu atau dua ribu ekor pun tetap tidak
dapat. Engkau pintar. Ikan peda, banyak di kedai dan di toko. Ia tak
ber-nyawa, tak dapat bergerak. Engkau boleh mengambil sesuka hatimu,
asal ada uang. Tapi kancil makhluk bernyawa. Dikejar, ia lari,
disergap, belum tentu dapat. Andaikata permintaanmu itu kusanggupi,
besok atau lusa pedamu sudah ada di sini, sedang kancilku belum tentu
ada. Betapa mungkin manusia <em>“tigin ka jangji bela ka lisan”</em>
(memenuhi janjinya dan perkataannya). Apabila kancil itu ada di tanganku
sekarang atau esok hari, dan engkau ada di depanku, mengapa harus
ditukar dengan peda, engkau boleh makan dagingnya
sekenyang-kenyangnya”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Senja hari, setelah kami mandi di sungai Ciujung, kami diajak
bermalam di rumah Puun Kais yang ada di perkampungan Baduy Dalam
Cikeusik. Kami masih sempat memperhatikan keadaan perkampungan itu.
Rumah-rumahnya sangat berdekatan. Antara rumah dengan rumah tak
berpagar, demikian pula perkampungannya. Rumah mereka bertiang kayu
beratap rumbia. Lantainya dibuat dari bambu yang diremukkan membujur (<em>palupuh</em> = Sunda). Tinggi kolongnya <span style="text-decoration: underline;">+</span>
1,50 m. Untuk naik ke atas lantai, ada tangga pendek dari bambu. Di
ujung tangga disediakan perian yang berisi air untuk membasuh kaki.
Dapurnya ada di dalam rumah.<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/rumah-kanekes-baduy-1979.jpg"><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-2677" src="http://artshangkala.files.wordpress.com/2010/02/rumah-kanekes-baduy-1979.jpg?w=570" title="Rumah Kanekes (Baduy) 1979" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
Rumah adat Kanekes / Baduy</div>
Ketika kami tiba, isteri Puun Kais sedang memasak nasi. Puun Kais
sendiri membantu dengan cekatan. Setelah nasi masak, dibentangkannya dua
helai tikar untuk tempat kami makan dan tidur. Penghuni rumah
bersama-sama makan dengan kami. Tempat nasi adalah sebuah piring batu,
besar (piring antik). Kami masing-masing mendapat sehelai daun pisang
untuk pengganti piring, karena mereka tidak boleh mempunyai piring
pinggan biasa. Lauk pauknya lain dari pada ikan peda yang kami bawa dari
rumah, ada garam lama (<em>uyah nahun</em>), gulai atau rebus <em>biji hiris </em>(Cayanus cayan Millsp. fam. Leguminosae), dan petai yang dikeringkan.<br />
Nasinya putih bersih, tetapi keras dan berderai (<em>bear</em> =
Sunda), hingga sukar disuapkan. Akan tetapi bagi mereka sudah biasa dan
suapnya pun berlainan, ialah nasi itu tak ditaruh diujung jari,
melainkan ada di antara telapak tangan dari jari, lalu dilemparkan ke
dalam mulutnya. Karena itu ujung jarinya tak sampai masuk ke dalam
mulut.<br />
<div style="text-align: center;">
*</div>
Tengah kami makan, Puun Mantan berkata.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 571px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Agaknya kamu belum biasa makan nasi ladang”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Hanya sukar menyuapkannya saja, ayah. Nasi ayah ini tak dapat dikepal.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Sungguh pun begitu, orang yang makan nasi
ini lebih tahan lapar dari pada makan nasi di tempatmu. Bila engkau
biasa makan nasimu sehari tiga kali, dengan nasi kami ini cukup dua
kali saja. Demikian sepanjang kata orang-orang kami yang pernah makan
di luar Baduy. Pada hematku nasi sawah itu kurang kekuatannya dari
pada nasi ladang”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Selesai makan, kami duduk-duduk di atas tikar. Sedangkan Puun Manten
bersama istrinya dan anak-anaknya duduk di atas lantai bambu tak
beralaskan apa-apa. Saya berkata :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Mengapa Girang duduk tidak bertikar. Ambillah yang sehelai ini untuk Girang dan Ambu (istri Puun Kais)”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Tidak. Tikar ini kusediakan bagi tamu. Kami tidak biasa bertikar berbantal, apalagi tidur berkasur”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Seorang bekas Puun tidur tidak berkasur berbantal?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Puun sendiri tidak berkasur berbantal”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="553">“Mengapa?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="553">“Kami takut kalau-kalau terlalu nyenyak
tidur. Terutama bagi kami, tidur di atas kasur itu adalah suatu
larangan. Sedang bantal ada juga seorang dua yang empunya. Kamu pun
terpaksa di sini tidur tak berbantal, karena aku tak punya barang
sebuah pun”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Saya mengambil kain putih dari dalam tas dan diserahkan kepada Puun Manten sebagai buah tangan bagi keluarganya.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Apakah ini?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Kain putih, Girang”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Ya,… aku tahu ini kain putih. Tapi apakah maksudmu?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Untuk keluarga Girang”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Tidak perlu. Lebih baik kau simpan lagi. Kami orang Sunda hanya boleh memberi tak boleh meminta (<em>wenang mere teu wenang menta</em>). Orang yang pandai meminta adalah tukang baramaen (orang minta-minta)”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Aku sendiri orang Sunda”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Entahlah. Engkau orang Sunda atau bukan
tak menjadi soal kepadaku. Bahasamu dapat kupahamkan, tetapi kita
berlainan bagian karena berlainan tempat kelahiran. Bagian kami di
sini hidup terbatas dengan ketentuan larangan kebuyutan. Bagian kamu
di luar, hidup bebas, dapat melakukan sembarang kehendakmu”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Walaupun begitu, kain ini aku yang memberi
kepada Girang, bukannya Girang yang meminta kepadaku. Apakah
beri-memberi terlarang pula?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Tidak, bahkan diharuskan. Adakah kainmu
ini bukan kau dapat dari pembagian Pemerintah? Kabarnya orang-orang di
luar mendapat bagian pakaian dan makanan dari negara (maksudnya
distribusi). Tak masuk pada akalku orang yang sehat-sehat seperti kamu
sekalian harus dibagi makanan dan pakaian”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Meskipun dibagi, tapi dengan membeli juga.
Dan kain putih ini aku tak tahu dengan pasti darimana asalnya, sebab
didapat dari istriku”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Walaupun dibeli, harganya tak seperti
harga pasar. Dan aku tidak mengerti mengapa engkau membawa benda yang
tak kau ketahui asalnya”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Tetapi senang benar hatiku, bila kain
putih ini ayah terima. Aku tak sanggup membawanya kembali, karena
perjalanan dari sini ke tempatku sangat berat bagiku. Jangankan
membawa beban, sedang membawa tubuh pun merasa letih. Lain dari pada
itu, andaikata kain ini berasal dari pembagian sekalipun, namun tetap
kepunyaanku, bukannya benda curian. Jikalau ayah tak suka memakainya,
boleh dibuang, dibakar atau dijual”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Kalau demikian, baiklah kuterima. Tetapi
aku berharap agar pemberian ini terbit dari hatimu yang tulus ikhlas,
dan hendaklah kau izinkan bila esok atau lusa benda ini kutukarkan
dengan benda lain. Kami disini tidak boleh memakai kain sehalus ini.
Pakaian kami harus dari kain yang kami tenun sendiri”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Kemudian pembicaraan kami beralih kepada peristiwa negara pada masa itu.<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Aku mendengar kabar, bahwa negara kita
telah terlepas dari kekuasaan Belanda. Masih banyakkah orang-orang
Belanda di tempatmu?”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">Pertanyaan itu tentu saja saya jawab “masih banyak” karena waktu itu adalah tanggal 7 Januari 1950″.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Adakah mereka masih menjadi <em>Pangagung?</em> (memegang jabatan tinggi)”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="544">“Tidak. Tampuk pimpinan pemerintahan ada di tangan orang-orang awak”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="544">“Menurut pakem kami, kekuasaan Belanda di
sini harus sudah hapus semenjak 100 tahun yang lampau. Mereka tak
mungkin berkuasa kembali, sebab telah tiba <em>“disnya”</em> (batas
yang ditunjuk). Setelah habis kekuasaan Belanda, masih ada lagi
beberapa bangsa asing yang menduduki tanah air kita ini. Akan tetapi
pada hematku, mereka hanya untuk mengacaukan saja, karena kekuasaannya
telah dihabiskan Belanda oleh kelebihan waktu 100 tahun itu.
Sesungguhnya ada suatu kesalahan besar yang dijalankan oleh orang
dulu-dulu di luar. Mereka telah menjual tanah kepada orang-orang
Belanda dan orang-orang asing lainnya. Karena itu, orang-orang asing
itu mempunyai tanah di sini, bercocok tanam, merasa beruntung dan
akibatnya tak mau melepaskan tanahnya itu. Orang-orang Belanda dan
orang-orang asing yang datang kemari hanya untuk berdagang dan berjual
beli, bukan untuk berkebun berladang. Mereka mempunyai tanah air
sendiri”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Puun Manten bertanya pula :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 570px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Kabarnya kamu berperang dengan Belanda”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="534">“Terpaksa, karena masing-masing mempertahankan pendiriannya”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Apakah tak lebih baik bila diselesaikan dengan perundingan”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="534">“Berunding dan berdamai sudah kami jalankan, tetapi akhir-akhirnya bertempur juga”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Berperang berarti berbunuh-bunuhan.
Akibatnya niscaya banyak anak-anak dan perempuan yang terlantar. Pada
hematku, bila perundingan itu dijalankan dengan tulus ikhlas, mengapa
tak mendapat penyesuaian?. Kamu di luar orang pandai-pandai.
Orang-orang Belanda pun tak semua buruk dan tamak; mereka tentu
mengetahui bahwa batas kekuasaannya di sini telah lampau. Pada hematku
perundingan itu dapat diatur agar tak merugikan kedua belah pihak,
misalnya begini: Kepandaian Belanda tentang mengatur negara, membuat
uang, membuat pakaian dan sebagainya, kamu ambil dahulu. Orang-orang
Belanda yang baik hati, niscaya bersedia memberikan kepandaian itu
kepada kamu. Kelak, bila kamu telah pandai sebagai mereka, orang-orang
Belanda itu disuruh pulang dengan diberi uang secukupnya untuk
tambangan (biaya perjalanan) dan untuk hidup di tanah airnya”.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">-</td>
<td valign="top" width="534">“Apakah manusia itu tak boleh berperang?”</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="49">+</td>
<td valign="top" width="534">“Kamu boleh, kami tidak. Akan tetapi cara
kamu berperang menurut kabar yang kudengar, tak masuk pada akalku.
Orang-orang yang berperang pada masa ini, dibolehkan membakar rumah,
membunuh perempuan dan anak-anak atau menyiksa orang-orang yang tak
berdosa. Pada pakem kami, ada peristiwa <em>perang ayunan</em>.
Orang-orang yang berperang ayunan, harus sama senjatanya, seimbang
tenaganya. Musuh lawan harus memegang kejujuran. Barang siapa yang tak
jujur, meskipun ia menang, tetap kalah”.</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<hr size="1" />
[1] Ketika buku ini ditulis, kedua-duanya masih hidup dan ada di Bogor.</div>
goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-55338573037529186552009-02-14T15:10:00.003+07:002009-02-14T15:28:37.864+07:00PUPUK OTAK KANAN DENGAN EMPATI DAN RASA SAYANGSeorang guru yang mengajar berhitung untuk kelas 3 SD, Masuk kelas dengan malas. ”Anak-anak, sekarang kita belajar berhitung,” kata guru. ”Jumlahkan bilangan : 1+2+3+4+5+6+7+…. dan seterusnya sampai terakhir tambah 2000 !” perintah guru. Guru tersebut berfikir bahwa anak-anak tidak akan mempu menyelesaikan tugas tersebut, yaitu menjumlahkan bilangan dari 1 sampai 2000 dalam waktu 2 jam – bahkan jika pakai kalkulator sekalipun. Sehingga guru tersebut dapat duduk-duduk santai saja.<br /><br /> Tetapi tidak. Hanya dalam waktu sekitar 1 menit, seorang murid mengacungkan tangan dan berkata ”Saya bisa, saya sudah selesai”. Guru tersebut kaget, ”Mana mungkin,” pikirnya. Tetapi murid tersebut memang bisa, dan benar. Ia mengatakan jawaban dari soal itu adalah 2.001.000. Bagaimana caranya?<br /><br /> Murid itu mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dan cepat karena menggunakan otak kanan dan otak kiri secara harmonis. Otak kiri berpikir dengan cara urut, bagian perbagian, dan logis. Sementara otak kanan melengkapinya dengan cara berpikir acak, holistik, dan kreatif.<br />Coba kita perhatikan cara murid itu menggunakan otak kiri dan otak kanannya sebagai berikut. Pertama, tuliskan kebali soal berhitung di atas sebagai berikut.<br /><br />1+2+3+4+…. ….+1997+1998+1999+2000 = ….. ?<br />Pada saat kita mencoba menggunakan otak kiri saja, pasti sulit. Tapi coba gunakan otak kanan yang acak, … jumlahkan yang pertama dan terakhir. Kita peroleh :<br />1 + 2000 = 2001<br />2 + 1999 = 2001<br />3 + 1998 = 2001<br />4 + 1997 = 2001 dan seterusnya.<br />Sehingga kita peroleh jawaban 2001 x 1000 = 2.001.000<br /><br /> Dalam proses belajar atau kehidupan sehari-hari, orang sering hanya menggunakan setengah kemampuannya saja yaitu otak kiri.<br /><br /> Sayangnya, pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada aktivitas pembelajaran otak kiri, dengan mengunggulkan logika, cara berpikir matematis, dan analitis. Bahkan kekuatan otak kiri di-baku-kan dengan serangkaian tes IQ (Intelligence quotient ). Seseorang yang memiliki skor IQ tinggi dianggap pintar, cerdas, dan jenius. Sedangkan yang skor tes IQ-nya rendah dianggap bodoh, bahkan idiot. Seringnya skor IQ seseorang dikaitkan dengan sukses atau tidak hidupnya di masa depan.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYDwHe8nQpcHJJQs5TTITyg8ylBeFIIBND-J0SOLoR0U_pqhy2PxcvEaz_9T4be7jC-BJ8899uWS_U45_xsTsRuvb7iYXez_NBMNBKfFXkNdCXq5dmVSnqhqQ7zfjj3ORCqIAGz_KEUCw/s1600-h/gaya-bercinta-ala-binatang.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 197px; height: 296px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYDwHe8nQpcHJJQs5TTITyg8ylBeFIIBND-J0SOLoR0U_pqhy2PxcvEaz_9T4be7jC-BJ8899uWS_U45_xsTsRuvb7iYXez_NBMNBKfFXkNdCXq5dmVSnqhqQ7zfjj3ORCqIAGz_KEUCw/s320/gaya-bercinta-ala-binatang.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5302566782103903778" border="0" /></a>Bobby de Potter dalam bukunya yang fenonemal “QUANTUM LEARNING” membongkar semua kepalsuan dan mitos seputar IQ. Banyak orang yang terniliai IQ tinggi, ternyata tidak sukses dalam karir dan bisnisnya di masa depan. Sebaliknya, justru orang-orang yang berhasil dalam hidup, karir dan bisnis itu berangkat dari orang-orang yang pada masa lalunya dianggap tidak memiliki IQ tinggi. Sebut saja Bill Gates, pendiri Microsoft Corporation yang pernah menduduki singgasana orang terkaya di dunia, pada masa sekolahnya justru pernah tidak naik kelas. Bahkan Abdurrahman Wachid (Gus Dur) Presiden Indonesia ke-4 pernah tidak naik kelas saat sekolah menengah di Jakarta. Kisah sukses mereka saat ini bukan karena IQ mereka yang tinggi saat tes di sekolah. Melainkan, karena mereka mengembangkan kemampuan otak kanannya selama masa perkembangan kedewasaannya. Kerja yang seimbang otak kanan dan otak kiri akan menghasilkan kinerja otak yang sangat maksimal.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Nah, bagaimana cara mengembangkan otak kanan?</span><br /><br /> Belahan otak kanan berfungsi untuk berpikir holistic, spasial, metaphoric dan lebih banyak menyerap konsep matematika, sintesis, mengetahui secara intuitif, elaborasi, dan variabel serta dimensi humanistic mistik. Otak kanan ini mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang memerlukan kreativitas, orisinalitas, daya cipta, dan bakat artistic. Pemikiran otak kanan lebih santai, kurang terikat oleh parameter ilmiah dan matematis. Kita dapat melibatkan diri dengan segala rupa dan bentuk, warna-warni dan kelembutan, dan mengabaikan segala ukuran dan dimensi yang mengikat. Belajar menyayangi segala hal, mulai dari menyayangi diri sendiri, menyayangi orang lain tanpa pandang bulu, menyayangi hewan dan tumbuhan, menyayangi kelestarian alam, menyayangi bumi, bahkan menyayangi orang yang membenci kita sekali pun, adalah salah satu bentuk latihan untuk memberdayakan otak kanan.<br /><br /><div style="text-align: center;">"Bila kita mengerti bahwa pengorbanan adalah untuk keuntungan kita juga, dan apabila kita mengerti bahwa yang kita berikan sebagai korban adalah hak mereka yang menerima, dan bila kita percaya bahwa janji itu benar - maka sebuah pengorbanan sama sekali bukan sebuah pengorbanan, tetapi sebagai sebuah tindak kasih sayang, sebuah kecintaan bagi jiwa-jiwa besar"<br /></div><div style="text-align: center;">(Mario Teguh - Sacrifice)</div>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-6935192973936077342008-11-21T15:28:00.001+07:002009-02-13T10:32:12.352+07:00Agnotisme<p class="MsoNormal">Seorang murid dari ujung barat pulau Jawa berkirim email</p><p class="MsoNormal"> </p><blockquote> Pak,<o:p></o:p> sepertinya buku bertrand russel juga akan memberikan seuatu kepadaku, aku sedang dilanda kebingungan dengan keyakinanku sendiri,apakah dosa itu ada, apakah tuhan itu kejam?<o:p></o:p> <p>sekian dulu email dariku, aku berharap bapak tetap menjadi hegelku,,,my lovely hegel, dan tetaplah memberiku inspirasi....<o:p></o:p></p> <p>your boy,</p></blockquote><p></p><p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgC5r9tgWRP3kz-E5BUHKxM5WmFTOx51SKu57MsW8EpcnQgRFnn5NTnmIgdO8g0YW_WDHGiZq1gHBWaLnyYjnMvhFyT2ZrTbr8nr8B0blD8hRHzsHuF3RvOuzFZbJvOj_NLqKvQJA_RzA/s1600-h/GANG+GEL.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgC5r9tgWRP3kz-E5BUHKxM5WmFTOx51SKu57MsW8EpcnQgRFnn5NTnmIgdO8g0YW_WDHGiZq1gHBWaLnyYjnMvhFyT2ZrTbr8nr8B0blD8hRHzsHuF3RvOuzFZbJvOj_NLqKvQJA_RzA/s320/GANG+GEL.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5271028261826612514" border="0" /></a></p> <p class="MsoNormal">Secara umum, seseorang yang berkeyakinan agama tertentu (atau setidaknya menganut paham mistisisme) mempercayai tiga hal. Yakni percaya pada Tuhan (atau sejenis kekuatan ‘supra’ lainnya), percaya pada utusan Tuhan bagi manusia di bumi, dan percaya pada kehidupan keabadian setelah kematian (immortality). Percaya pada hari pembalasan menjadi modus bagi kaum beragama untuk mengabarkan tentang kebaikan. <span style="" lang="FI">Karena perbuatan jahat di muka bumi akan membuahkan hukuman dan siksa di<span style=""> </span>‘hari kemudian’ demikian pula sebaliknya. Perbuatan baik yang dilakukan di bumi semata-mata untuk tabungan kebaikan di kehid</span><span style="" lang="FI">upan berikutnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Maka, pertanyaan seorang murid yang tangah dan tak henti-hentinya berkontemplasi dengan kehidupan,<span style=""> </span>tentang siksa neraka menjadi menarik untuk dielaborasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><span style="font-weight: bold;">Iman dan kepercayaan</span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Seseorang yang membutuhkan agama untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri adalah orang yang takut. Kepercayaan adalah kejahatan karena ia berarti menambahkan lebih banyak arti pada bukti melebihi yang diperlukan. Kita seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan, belum pasti kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah kejahatan, karena ia berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang sahih untuk mempercayainya (Bertrand Russel, dalam</span><span style="" lang="FI"> : “Bertuhan tanpa Agama”).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Russel adalah seorang agnosis. Dia menunda untuk percaya pada Tuhan, Nabi dan hari Akhir sampai ada hal-hal yang secara sahih dan memadai dapat dibuktikan kebenarannya. Konsep kebaikan dan kejahatan tidak didasarkan pada perintah Tuhan, Nabi, atau motivasi hari akhir. Tidak juga pada hati nurani. Melainkan pada empati. Konsep empati ia terapkan untuk mendorong orang-orang putus asa tidak dengan dalil-dalil melainkan dengan sebuah logika sederhana :</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">“Saya akan mendorong orang yang putus asa dengan menunjukkan sesuatu yang bias ia capai. Pada diri kita terdapat sesuatu yang bias kita lakukan, dan kita akan menjadi lebih baik dengan melakukannya. Tidak perlu melibatkan agama. Selalu ada banyak hal yang perlu Anda kerjakan. Misalkan ia berupa kebaikan Anda sendiri. Anda makan pagi tetapi Anda tidak peduli pada agama. Jika Anda peduli pada orang lain Anda akan membutuhkan sangat sedikit agama untuk menyediakan mereka makan pagi. Selalu ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain, dan saya memasukkan Anda di dalamnya. Anda tidak memerlukan agama untuk mengetahui hal ini, Anda hanya membutuhkan tindakan rasional atas apa yang mungkin (dilakukan)” (p. 120)</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7vnceykGmgD5_pF-ivKv_XyyX4m-M7ccqvTTwZb63q-IOp9J4XHDfv1ZPXHqN37KCGSVlHV7M9Y_FQAJ34PpwPWrn6WWCXARusKvG5RBZOBYJTvvHKkO-tX0Ts18it_Sx7XyKIee9MVE/s1600-h/RUSSEL+COMIC.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 186px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7vnceykGmgD5_pF-ivKv_XyyX4m-M7ccqvTTwZb63q-IOp9J4XHDfv1ZPXHqN37KCGSVlHV7M9Y_FQAJ34PpwPWrn6WWCXARusKvG5RBZOBYJTvvHKkO-tX0Ts18it_Sx7XyKIee9MVE/s320/RUSSEL+COMIC.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5271029317673556210" border="0" /></a></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><span style="font-weight: bold;">Tentang dosa dan neraka.</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Mengenai konsep ‘dosa’, ia menganggapnya bukan konsep yang berguna. Tentu saja, ia mengakui bahwa sebagian jenis tingkah laku diinginkan dan sebagian tidak diinginkan, tetapi ia berpendapat hukuman atas jenis tindakan yang tidak diinginkan hanya dijatuhkan untuk pencegahan atau perbaikan, bukan dijatuhkan karena hukuman tersebut dianggap hal yang baik dalam dirinya sehingga orang yang bersalah harus menanggungnya. Kepercayaan pada hukuman pembalasan inilah yang menjadikan orang menerima neraka. Inilah sebagian bahaya dari gagasan ‘dosa’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><blockquote>Setiap orang melakukan apa saja yang ia sukai. Misalnya, Anda sangat membenci seseorang sehingga Anda ingin membunuhnya. Mengapa Anda tidak melakukannya? mungkin Anda menjawab : ‘Karena agama mengajarkan pada saya bahwa membunuh itu dosa’. Tetapi sebagai data statistik, penganut agnostik tidak lebih cenderung membunuh dibanding yang lain, pada kenyataannya lebih kecil kecenderungannya. Saya kira setiap orang yang mengkaji sejarah masa lampau dengan cara yang adil akan sampai pada kesimpulan bahwa agama telah menyebabkan lebih banyak penderitaan daripada mencegahnya<span style=""> </span>(p.40).</blockquote><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Russel, bukanlah seorang komunis. Komunisme, menurut Russel tidak menentang agama, ia hanya menentang agama Kristen demikian juga Islam. Russel adalah sebagian kecil dari orang-orang yang gelisah dengan perkembangan peradaban kemanusiaan saat ini. Kita tengah berada di jaman kemerosotan moral, katanya. Dan indikasi kemajuan moral adalah adanya simpati yang meluas. Sayangnya sejauh ini agama belum memiliki fungsi yang siginifikan dalam hal meluasnya rasa simpati kemanusiaan (kalau tidak ingin dikatakan sebalik, seperti pertikaian antar dan interagama, misalnya).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><blockquote>“Rasa takut adalah induk dari kekejaman, karenanya tidak mengherankan jika kekejaman dan agama berjalan beriringan. Ini karena rasa takut menjadi dasar bagi keduanya. Di dunia ini kita sekarang bisa mulai sedikit memahami sesuatu, dan sedikit demi sedikit menguasainya dengan bantuan sains, yang secara bertahap bergerak maju melawan agama dan melawan semua ajaran-ajaran lama.<span style=""> </span>Sains bisa membantu kita menghilangkan penjara ketakutan. Hati kita sendiri pun bisa mengajari kita, untuk tidak lagi mencari dukungan semu, tidak lagi mencari sekutu di langit, tetapi melihat pada upaya kita sendiri di bawah langit untuk menjadikan dunia ini sebagai tempat yang cocok ditempati, bukannya semacam tempat yang dibangun oleh agama-agama dogma selama berabad-abad (p.99).”</blockquote><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Russel, menurut para koleganya, lebih saleh dari orang-orang beragama yang mereka kenal. Maka, meski kurang tepat, buku kumpulan esainya yang berjudul Russel on Religion diterjemahkan menjadi “Bertuhan tanpa agama”<o:p></o:p></span></p> <span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Wallahua’alam bishshawab</span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-10976285630132424272008-11-21T14:50:00.001+07:002009-02-13T10:33:22.802+07:00Tarekat CintaTarekat (thoriqoh) adalah jalan. Dalam pengertian pendalaman keagamaan, tarekat adalah sebuah jalan yang ditempuh seseorang untuk bisa mencapai pemahaman yang memadai dan mendalam tentang hakikat Allah (ma’rifatullah).<br /> Tahapan untuk mencapai ma’rifatullah, seseorang memulai dengan mengamalkan syariat Islam (hukum-hukum fiqih). Ketika seseorang mampu memahami makna dan hikmah-hikmah yang terkandung di setiap ajaran-ajaran syariat yang diamalkannya, maka dia berada dalam fase hakekat (kesejatian). Nah, mulai dari titik sebagai muslim sejati (hakekat) inilah seseorang bisa melanjutkan perjalanan spiritualnya melalui jalan tarekat untuk mencapai ma’rifatullah. Jalan semacam ini dipilih oleh orang-orang yang menempuh hidup bersih dan suci (Sufi; asal katanya shofa : bersih).<br /> Alkisah, adalah seorang sufi bernama Hasan Bashri (642-737 M) yang bersahabat dengan Robiah Al Adawiyah (sufi perempuan). Hasan Bashri menunjukkan kemampuannya kepada Robiah atas izin Allah bisa berjalan di atas air menyeberangi sungai. Setibanya di seberang sungai, ia terperanjat mendapati Robiah yang sudah sampai terlebih dahulu. Ia bertanya bagaimana Robiah melakukannya. Robiah Al Adawiyah menjelaskan bahwa atas izin Allah dia bisa berjalan di atas angin. Bagaimana Rabiah bisa mendapatkan hal itu? Hasan Bashri penasaran. Robiah menjawab : Dengan cinta!<br /> Robiah Al Adawiyah adalah seorang sufi yang kontroversial. Dia pernah mengajukan pertanyaan kepada Hasan Bashri (dan tertuju kepada seluruh manusia) sebuah pertanyaan krusial : “Apakah engkau menyembah dan mengabdi kepada Allah karena mengharapkan Syurga dan takut neraka?”, lanjutnya : “ Jika Surga dan Neraka tak pernah ada apakah engkau masih mau mengabdi dan menyembah kepada-Nya?” (kisah ini kemudian digubah oleh Ahmad Dhani menjadi sebuah lagu dengan judul Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada).<br /> Bagi Robiah Al Adawiyah, mestinya kita menyembah dan mengabdi kepada Allah atas nama CINTA. Cinta adalah sebuah spirit yang mendorong seseorang untuk secara ikhlas dan tulus melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Spirit cinta menggerakkan seseorang dari dalam jiwanya dalam melakukan sesuatu kepada yang dicintainya tanpa syarat.<br /> Spirit cinta juga yang menggerakkan Robiah Al Adawiyah untuk total mengabdi kepada Allah. Begitu totalnya, hingga ia memutuskan untuk hidup selibat (tidak menikah) dan meninggalkan duniawi yang berpotensi mengganggu cintanya pada Allah. Dan selalu menjaga kesucian diri dari hal sekecil apapun. Dikisahkan, suatu ketika Robiah hendak memasak di dapur dan mendapati bahwa dia kehabisan bawang. Seketika datanglah seekor burung dan menjatuhkan bawang di atas periuk sayurnya. Dia bertanya pada burung, dari mana diperoleh bawang itu. Sang burung tidak bisa menjawab, dan Robiah mengurungkan diri menyantap masakan itu.<br /> Suatu malam, sambil duduk bersimpuh Robiah berguman “Ya Alloh, semua jerih payahku dan semua hasratku diantara kesenangan-kesenangan dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah berjumpa dengan-Mu. Kini berbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”. Cinta Robiah teramat besar pada sang Pencipta, hingga doa yang dipanjatkan pun tidak mendikte Allah. Semua pengorbanan besar ini pernah ditanyakan oleh Hasan Bashri ketika berbincang di tepi sungai dan Robiah tengah menjahit pakaiannya yang sobek. Apa yang kau dapat dari Allah jika kau sendiri tidak menuntut apa-apa? Tanya Hasan Bashri. Robiah tercenung sesaat hingga tak terasa jarum jahitnya jatuh ke sungai. Tak berapa lama segerombolan ikan menyembul ke permukaan sambil membawakan sebuah jarum emas untuk Robiah, “Inilah yang kuperoleh dari-Nya“ katanya singkat kepada Hasan Bashri.<br />Robiah Al Adawiyah, mengajarkan kepada kita tentang cinta yang mendalam kepada Allah. Hingga segala sembah dan ibadah yang dilakukan pun tak menuntut untuk dihargai sebagai surga. Pantaslah segala ungkapan rasanya ini dituliskan dalam sebuah sajak sebagai berikut :<br /><br /><blockquote>”Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke dalam neraka itu, dan besarkanlah tubuhku dalam neraka itu, sehingga tidak ada tempat lagi di nerakat itu buat hamba-hamba Mu yang lain. Kalau aku menyembah-Mu karena berharap mendapatkan surga, berikanlah surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain, sebab bagiku Engkau saja sudah cukup.”</blockquote><br /><br /> Demi agar ia kuat beribadah, Robiah senantiasa meletakkan kain kafan persiapan dirinya nanti di sebelahnya ketika ia sholat……. Ketika tiba saatnya Robiah harus meninggalkan dunia fana ini,Ia mengisyaratkan dengan tangannya agar orang-orang keluar. Orang-orang yang sebelumnya menunggui, kini satu demi satu membiarkan Robiah sendiri. Setelah itu, mereka mendengar suara dari dalam kamar Robiah.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizj7FU3P-eptsgd_dv2vSnZf6Kyf0xIJRYTDKdCoJZ1cRRqOBo-L51vAgoPOz02IxBvOPmUqamhDtoQq27BM03XdOQ_yeEHYB9kk6oDkk64gYfSnZPwqlzGSMiEi2jt5L3A5BtY6rq5bU/s1600-h/arabiah.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 281px; height: 82px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizj7FU3P-eptsgd_dv2vSnZf6Kyf0xIJRYTDKdCoJZ1cRRqOBo-L51vAgoPOz02IxBvOPmUqamhDtoQq27BM03XdOQ_yeEHYB9kk6oDkk64gYfSnZPwqlzGSMiEi2jt5L3A5BtY6rq5bU/s320/arabiah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5271023356700518546" border="0" /></a><br /><br />“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. (q.s 89: 27-28)”goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-33814799172309652522008-11-13T16:48:00.001+07:002009-02-13T10:35:00.047+07:00metamorfosa nikmat Tuhan<p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI">(untuk ebi dan fenomena roery-nya)</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI">Kita berdoa kepada Tuhan meminta bunga,</span><span style="" lang="FI">…</span><span style="" lang="FI">. Tapi diberi-Nya kaktus berduri. Kita meminta kupu-kupu, tapi diberi-Nya ulat berbulu. Kita sedih....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1029" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="KUPU-KUPU_files/image001.gif" title="daun"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="" lang="FI">Namun tiba-tiba....kaktus itu berbunga yang indah warnanya. Ulat itu berubah menjadi kupu-kupu cantik sekali....</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyxQN_agCVWhkGLU9J3ZXbae_DsBASk0WskG_Op1VCdOTdMEOOW6CQPu8U7ywCSTRA0a4Q_CYVMwZkN9g-GXDIdj4j8FZ3ch5_XKlhwOcjAKC8fXyP3RZGDuma1_J0VjHrhdqWdCLJZMk/s1600-h/daun.gif"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 177px; height: 148px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyxQN_agCVWhkGLU9J3ZXbae_DsBASk0WskG_Op1VCdOTdMEOOW6CQPu8U7ywCSTRA0a4Q_CYVMwZkN9g-GXDIdj4j8FZ3ch5_XKlhwOcjAKC8fXyP3RZGDuma1_J0VjHrhdqWdCLJZMk/s320/daun.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5268078441849423026" border="0" /></a><span style="background: black none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" lang="FI"> </span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI">Begitulah kasih sayang Tuhan kepada kita. Kadang yang kita anggap baik untuk kita, tak selamanya hal itu baik untuk kita, demikian pula sebaliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI">Karena Tuhan tidak selalu menjawab doa kita dengan ”YA”, melainkan selalu dengan ”YANG TERBAIK”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;"> <v:imagedata src="KUPU-KUPU_files/image003.png" title="" croptop="10717f" cropbottom="35035f" cropleft="35560f" cropright="10828f"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table style="width: 28px; height: 36px;" align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="9" width="132"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><br /></td> </tr> <br /><br /></tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 1in 0.0001pt 45pt;"><span style="" lang="FI">”Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ”(q.s Ar-Rahman: 18)<o:p></o:p></span></p>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2007827103693317405.post-74853080762631373062008-11-07T17:03:00.003+07:002009-02-13T10:41:22.891+07:00Hidup bukanlah bebanSeorang Ade Ray.<br />Dengan tekun dan kontinyu telah melakukan latihan beban untuk<br />membentuk otot-otot tubuhnya agar menjadi indah dan proporsional. Beban-beban itu bisa saja berupa barbel beberapa alat lain yang aku kurang paham namanya. Ya, sebut saja barbel.<br /><br />Kawan,...<br />Durasi hidup kita di dunia ini makin hari makin bertambah. Otot-otot dan otak kita, semakin menampakkan hasil atas pengelolaan kita dalam durasi yang telah kita lewati, sehingga ada yg berbadan gempal, gendut, kurus, dll.. dan dalam hal itu otot dan otak kita pun semakin terbatas kemampuannya, kelelahan semakin mudah singgah,<br />kelincahannya semakin menurun..<br />Kita musti mengurangi porsi bebannya..<br /><div style="text-align: left;">dan kita tambah porsi beban untuk jiwa...Beban hidup adalah beban jiwa, yang menggayuti kita.. dan terkadang<br /></div>bahkan membuat kita menjadi menderita, tersiksa, ataupun merasa<br />betapa hidup ini melelahkan.. .<br />Mungkin hal itu disebabkan karena kita tidak sanggup meletakkan beban itu.<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT1C5e-jF0hz1_Dyb87DWe-b4CfVd01v7AQ1D_DCmfK2sbm_Jgi8ZRfz93Oy3_aIHrdNiI7ermi8JaCDywa5lqdIoQneAqYgAG0zI_qYOHSi87-3SN1b8YYqzbw45EuSt9-qM7ybLx8tw/s1600-h/beban+hidup.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 283px; height: 168px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT1C5e-jF0hz1_Dyb87DWe-b4CfVd01v7AQ1D_DCmfK2sbm_Jgi8ZRfz93Oy3_aIHrdNiI7ermi8JaCDywa5lqdIoQneAqYgAG0zI_qYOHSi87-3SN1b8YYqzbw45EuSt9-qM7ybLx8tw/s400/beban+hidup.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266512991051320210" border="0" /></a><br />Untuk itu kita ambil Ade Ray sebagai cermin... untuk Binajiwa.<br />Pelajaran jiwa tak ada habisnya, pada sebagaian besar umat beragama, kitab<br />suci dijadikan kurikulumnya. ..<br />Pada kesempatan ini, dengan kurikulum yang tentunya sedikit banyak<br />sudah kita baca dan mengerti, kita melatih jiwa kita dengan beban hidup sebagai barbelnya..<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjojkxT8p-C7JaDV_vS6cSDGR_4XZEpldcJ-ZhDeLfjPRWju-YVR4h6g0J87FrZrGypwzHyI5QHwC354inEGBHZbZmqEY8n53AEJs0os6uqp_ZzXUargFIesl5A9IZzm1dhrhFhNLwnv58/s1600-h/beban+hidup2.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 238px; height: 248px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjojkxT8p-C7JaDV_vS6cSDGR_4XZEpldcJ-ZhDeLfjPRWju-YVR4h6g0J87FrZrGypwzHyI5QHwC354inEGBHZbZmqEY8n53AEJs0os6uqp_ZzXUargFIesl5A9IZzm1dhrhFhNLwnv58/s400/beban+hidup2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266513429570513666" border="0" /></a><br />Jadi dalam hal ini beban hidup hanyalah salah satu alat yang dianugerahkan bagi kita manusia, bukan sebagai sebenar-benarnya beban yang harus kita pikul...<br />Melainkan hanya sebagai barbel, yang bila mana kita sikapi dengan<br />benar, kita angkat maupun kita taruh sesuai dengan proposinya niscaya akan terbentuk satu jiwa dengan segala kekuatan dan keindahannya. Semakin pas kita gunakan alat-alat ini, niscaya semakin indah jiwa yang akan terbentuk... -padahal bentuk keindahan jiwa inilah yg membuat kita bahagia-...<br />Semakin indah bentuk jiwa kita semakin bahagia pula hidup kita.. dan kita yakini pula bahwa Tuhan tidak pernah memberi barbel yang keliru... Tuhan selalu memberikan Barbel yag pas buat kita..<br />Kadang saja manusia terlalu bersemangat mengangkatnya sehingga hasilnya bukan jiwa yang indah malah sebaliknya jiwa ini menjadi sakit. Dan bahkan banyak diantaranya yang tidak pernah meninggalkan barbel itu..<br />Akan lebih bijak jika kita angkat dan kita letakkan beban hidup ini sesuai dengan proposinya...Sehingga akan terbentuk jiwa yang kuat, sehat, dan indah, dengan latihan yang tekun dan terus menerus... dan sekali kali jangan<br />pernah mau menderita dengan beban itu... Tuhan nggak suka melihat<br />penderitaan....<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDo4OstEBmrgh3HeYxSJh2-cLvECALnQv-YU3bVDdjF1EWI7tADB82JdQFd7I3fcQy1v9Oju8mQgbffSRSZ6CZ1FxAQn-QjjoIS2W-2lY_NMiOaRh2z8oWGG0DKLESOimie07SBjfq_Es/s1600-h/beban+hidup3.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 155px; height: 173px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDo4OstEBmrgh3HeYxSJh2-cLvECALnQv-YU3bVDdjF1EWI7tADB82JdQFd7I3fcQy1v9Oju8mQgbffSRSZ6CZ1FxAQn-QjjoIS2W-2lY_NMiOaRh2z8oWGG0DKLESOimie07SBjfq_Es/s400/beban+hidup3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266513809698833890" border="0" /></a><br /><br />(untuk sahabat yang berkontemplasi di lautan....)goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com